Karanganyar lahir
sebagai dukuh kecil, tepatnya terjadi pada tanggal 19 April 1745 atau 16 Maulud
1670.
sejarah asal kota Karanganyar sangat berkaitan dengan sejarah perlawanan
R.M. Sahid, atau yang lebih dikenal dengan julukan Pangeran Sambernyawa,
terhadap Belanda.
Suatu saat, pangeran Sambernyawa berada di tengah Bang Wetan Untuk bertapa dengan cara duduk di sebuah batu besar (Watu Kumatoso). Di tempat itulah, Pangeran Sambernyawa mendapat wasiat melalui seekor burung derkuku yang berkicau dengan sangat aneh.
Burung derkuku itu berkicau dengan kicauan yang berbunyi, (manggung) “Sapa mangan aku, bakal dadi luhur” (barang siapa
memakan aku akan menjadi luhur) “
Bukan main heran dan takjubnya pangeran mendengar kicauan burung yang begitu aneh itu. Tahulah dia bahwa semua itu dapat terjadi karena kehendak Tuhan yang ingin memberikan penerangan kepada dirinya.
Dengan disaksikan ketiga pengikutnya yang setia (Ngabei Rangga Panambang, Ngabei Kudana Warsa, dan Nitodono), Pangeran sambernyawa pun menamai tempat bertapa itu denga nama “Mojogedang” penggabungan dari kata sedya dan mojo yang berarti ‘kehendak atau cita-cita’ dan pepadhang yang berarti penerang atau petunjuk.
Jadi ditempat yang sekarangan bernama Mojogedang itulah. Pangeran Sambernyawa mendapat penerangan atau petunjuk tentanng cita-citanya melalui kehadiran burung derkuku yang berkicau aneh.
Diiringi ketiga pengikutnya, Pangeran Sambernyawa kemudian berusaha mengejar burung itu sampai di sekitar padepokan seorang wanita bernama Nyi Dipo, seorang pejuang wanita dari Kartasura yang lebih senang meneruskan pengabdiaanya sebagai pertapa.
Pangeran Sambernyawa segera mengutarakan maksud kedatangannya. Sejenak Nyi Dipo kaget dan kemudian menatap tamu-tamunya dengan tajam.
“Ada apa Nyi? Apakah keberatan dengan peremintaanku?” tanya Pangeran Sambernyawa setelah melihat ada keraguan di mata Nyi Dipo.
“Bukan begitu nakmas, aku hanya takjub. Benarkah yang sedang duduk dihadapanku ini adalah R.M. sahid dari Kartasura bersama ketiga sahabatnya yang setia itu ?” kata Nyi Dipo.
“Benar, Nyi, namaku memang sahid, tetapi orang-orang lebih suka memanggilku Sambernyawa. Ketiga sahabatku ini biasa dipanggil Rangga Panambang, Kuda Warsita, Dan Nitidono,” jawab Pangeran Sambernyawa dengan hormat.
“Oh, jadi memang waktunya sudah dekat. Nakmas, sebentar lagi akan memakan ‘wahyu Keraton’ yang berwujud burung derkuku aneh itu. Nakmas Sahid akan segera menjadi raja,” kata nyi Dipo dengan yang berseri-seri.
Nyi Dipo segera menceritakan asal mula burung derkuku yang kicauannya aneh itu. Menurut cerita Nyi Dipo, burung derkuku itu didapatkannya lewat sebuah suara gaib yang memberi petunjuk kepadanya untuk datang ke tengah hutan karena di bawah pohon jati growong (berlubang) ada anak seekor burung derkuku.
Burung itu harus dipelihara Nyi Dipo. Kelak jika ia sudah dapat berkicau dengan bunyi “sapa mangan aku, bakal dadi luhur “,berarti waktunya sudah dekat dengan kedatangan seorang kesartia yang diiringi oleh tiga orang sahabatnya. Seorang kesatria yang kelak akan menjadi raja.
Pangeran Sambernyawa begitu gembira mendengar cerita Nyi Dipo. Oleh karena itu setelah memakan masakan burung derkuku aneh itu, Pangeran Sambernyawa pun berkata “Kiranya yang ada di sini menjadi saksi, mulai hari ini dan sampai kelak ada keramaian zaman, tempat ini aku namakan Karanganyar
karena di tempat inilah aku mendapatkan kemantapan akan perjanjian baru (anyar) menjadi raja setelah makan Wahyu Kraton yang berwujud burung derkuku”. Sejak itu tempat Nyi Dipo berubah nama menjadi dukuh Karanganyar, yang dikemudian hari menjadi Kota Karanganyar.
Pangeran Sambernyawa sendiri memberi gelar Nyi Ageng Karang kepada Nyi Dipo. Sampai sekarang, makam Nyi Ageng Karang sebagai sebagai “cikal bakal” (awal mula) Karanganyar masih ada.
Suatu saat, pangeran Sambernyawa berada di tengah Bang Wetan Untuk bertapa dengan cara duduk di sebuah batu besar (Watu Kumatoso). Di tempat itulah, Pangeran Sambernyawa mendapat wasiat melalui seekor burung derkuku yang berkicau dengan sangat aneh.
Burung derkuku itu berkicau dengan kicauan yang berbunyi, (manggung) “Sapa mangan aku, bakal dadi luhur” (barang siapa
memakan aku akan menjadi luhur) “
Bukan main heran dan takjubnya pangeran mendengar kicauan burung yang begitu aneh itu. Tahulah dia bahwa semua itu dapat terjadi karena kehendak Tuhan yang ingin memberikan penerangan kepada dirinya.
Dengan disaksikan ketiga pengikutnya yang setia (Ngabei Rangga Panambang, Ngabei Kudana Warsa, dan Nitodono), Pangeran sambernyawa pun menamai tempat bertapa itu denga nama “Mojogedang” penggabungan dari kata sedya dan mojo yang berarti ‘kehendak atau cita-cita’ dan pepadhang yang berarti penerang atau petunjuk.
Jadi ditempat yang sekarangan bernama Mojogedang itulah. Pangeran Sambernyawa mendapat penerangan atau petunjuk tentanng cita-citanya melalui kehadiran burung derkuku yang berkicau aneh.
Diiringi ketiga pengikutnya, Pangeran Sambernyawa kemudian berusaha mengejar burung itu sampai di sekitar padepokan seorang wanita bernama Nyi Dipo, seorang pejuang wanita dari Kartasura yang lebih senang meneruskan pengabdiaanya sebagai pertapa.
Pangeran Sambernyawa segera mengutarakan maksud kedatangannya. Sejenak Nyi Dipo kaget dan kemudian menatap tamu-tamunya dengan tajam.
“Ada apa Nyi? Apakah keberatan dengan peremintaanku?” tanya Pangeran Sambernyawa setelah melihat ada keraguan di mata Nyi Dipo.
“Bukan begitu nakmas, aku hanya takjub. Benarkah yang sedang duduk dihadapanku ini adalah R.M. sahid dari Kartasura bersama ketiga sahabatnya yang setia itu ?” kata Nyi Dipo.
“Benar, Nyi, namaku memang sahid, tetapi orang-orang lebih suka memanggilku Sambernyawa. Ketiga sahabatku ini biasa dipanggil Rangga Panambang, Kuda Warsita, Dan Nitidono,” jawab Pangeran Sambernyawa dengan hormat.
“Oh, jadi memang waktunya sudah dekat. Nakmas, sebentar lagi akan memakan ‘wahyu Keraton’ yang berwujud burung derkuku aneh itu. Nakmas Sahid akan segera menjadi raja,” kata nyi Dipo dengan yang berseri-seri.
Nyi Dipo segera menceritakan asal mula burung derkuku yang kicauannya aneh itu. Menurut cerita Nyi Dipo, burung derkuku itu didapatkannya lewat sebuah suara gaib yang memberi petunjuk kepadanya untuk datang ke tengah hutan karena di bawah pohon jati growong (berlubang) ada anak seekor burung derkuku.
Burung itu harus dipelihara Nyi Dipo. Kelak jika ia sudah dapat berkicau dengan bunyi “sapa mangan aku, bakal dadi luhur “,berarti waktunya sudah dekat dengan kedatangan seorang kesartia yang diiringi oleh tiga orang sahabatnya. Seorang kesatria yang kelak akan menjadi raja.
Pangeran Sambernyawa begitu gembira mendengar cerita Nyi Dipo. Oleh karena itu setelah memakan masakan burung derkuku aneh itu, Pangeran Sambernyawa pun berkata “Kiranya yang ada di sini menjadi saksi, mulai hari ini dan sampai kelak ada keramaian zaman, tempat ini aku namakan Karanganyar
karena di tempat inilah aku mendapatkan kemantapan akan perjanjian baru (anyar) menjadi raja setelah makan Wahyu Kraton yang berwujud burung derkuku”. Sejak itu tempat Nyi Dipo berubah nama menjadi dukuh Karanganyar, yang dikemudian hari menjadi Kota Karanganyar.
Pangeran Sambernyawa sendiri memberi gelar Nyi Ageng Karang kepada Nyi Dipo. Sampai sekarang, makam Nyi Ageng Karang sebagai sebagai “cikal bakal” (awal mula) Karanganyar masih ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar